21 Januari 2013

AKU DAN UNGU


Wanita itu bernama Ungu. Nama yang sangat romantis. Parasnya jelita. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tidak terlalu mancung tetapi entah kenapa sangat menggemaskan untuk dilihat, bahkan olehku sebagi seorang perempuan. Dagunya bak lebah bergantung. Dagu idaman para wanita, yang bahkan para artis rela untuk mengoperasi dagunya supaya terlihat seperti dagunya Ungu. Punggungnya bongkok udang. Dan setiap lelaki tahu pasti apa itu maknanya. Setiap lelaki pasti akan selalu berdecak kagum dengan kemolekan wajah dan tubuh Ungu. Hampir sempurna. Kesempurnaan itu dilengkapi dengan nasibnya yang sangat beruntung karena dipersunting oleh seorang pengusaha sukses. Alhasil, Ungu, wanita itu secara kasat mata tak mempunyai kekurangan apapun dalam hidupnya. Pekerjaannya setiap hari hanya mengasuh anak-anaknya yang dua orang saja, dan mengurus rumah tangga. Aku mengenalnya sebulan yang lalu, karena aku menempati rumah baruku yang berada persis di sebelah rumahnya. Kami bertetangga sehingga sudah alami, jika aku akhirnya dekat dengan Ungu karena akupun hanya seorang ibu rumah tangga saja.
Semakin hari kami semakin mengenal satu sama lain. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama seperti Jogging, senam aerobic di fitness center, arisan, belanja dan lain lain urusan kaum hawa. Ungu mengatakan padaku bahwa sebelumnya tidak pernah mempunyai teman yang bisa diajaknya sama-sama mengerjakan segala sesuatu. Singkatnya kamipun bersahabat dekat. Tetapi ada satu hal yang aku perhatikan tentang Ungu ini. Terkadang ekspresi wajahnya seperti menahan beban dan sekilas terlukis ekspresi kesedihan. Ya, hanya sekilas saja. Wajahnya kadang terlihat sendu walau segera tertutupi dengan renyah tawanya. Senyumnya dan tatap matanya seringkali menatapku tanpa makna, seolah tak konsentrasi dengan apa yang kami bicarakan. Bahkan kadang-kadang aku merasa dia sedang tak bersamaku dalam setiap kebersamaan kami. Aku menduga ada yang mengganggu pikirannya. Tetapi aku tak tahu apa. Keluarganya terlihat bahagia, anak anaknya baik, suaminyapun baik dan sopan, walaupun aku jarang bertemu dengannya karena suami Ungu selalu pergi pagi, dan baru pulang larut  malam. Maklum pengusaha.
Melihat kehidupan Ungu, aku seringkali merasa iri. Betapa bahagia hidupnya. Punya suami dan anak anak yang baik. Harta melimpah, tubuh indah. Sedangkan aku? Aku hanya seorang perempuan yang menjadi istri kedua. Aku bisa punya apa saja, tapi tidak kebersamaan dengan suami sebagai sebuah keluarga yang utuh. Karena aku hanya mendapat waktu dua hari dalam satu minggu. Bahkan kalau terlalu sibuk, aku hanya bisa bertemu suamiku sebulan sekali. Hm, walau kadang kesepian, aku berusaha bertahan. Aku belum mempunyai anak atau praktisnya aku tak ingin mempunyai anak. Posisiku sebagai istri kedua membuatku tak merasa nyaman untuk mempunyai seorang anak. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya membesarkan anak dalam kondisiku yang sekarang. Apakah aku tidak hanya akan membuat anakku malu, mempunyai ibu yang menjadi istri simpanan? Ah, cepat cepat aku mengibaskan pikiran resahku tentang hidup yang sangat berbeda jauh dengan kehidupan Ungu yang serba indah. Menurutku, Tuhan sangat menyayangi Ungu lebih dari sayangNya padaku.
Aku memutuskan untuk menjadi istri kedua karena cinta. Suamiku adalah mantan pacarku ketika aku kuliah dulu. Sebuah jejaring sosial mempertemukan kami kembali. Aku yang memang berlama-lama sendiri karena tak sanggup melupakan masa laluku, tiba-tiba harus dihadapkan kembali pada pilihan yang menurutku sangat menguji ketahananku sebagai seorang wanita. Aku memahami dan menerima keadaannya yang sudah berkeluarga. Singkatnya kami CLBK. Cinta lama bersemi kembali. Aku sebetulnya tidak ingin menyakiti istri pertamanya, tetapi rupanya aku tak berhasil memenangkan logika dibanding perasaanku sendiri. Aku mau menerima cintanya kembali benar-benar murni karena hati. Masalah ia adalah seorang pejabat yang juga pengusaha itu kuanggap sebagai keberuntunganku saja. Selama ini aku sanggup menjalani peranku sebagi isteri kedua yang manis, alias tak banyak menuntut waktu, perhatian maupun materi dari suamiku. Aku adalah orang yang sangat tahu diri.  Dua hari dalam satu minggu, sebuah rumah dan mobil mewah, serta kebutuhan sehari hari terpenuhi, sudah cukup untukku.
Ungu sendiri tahu keadaanku. Aku menceritakan apa adanya keadaan diriku. Aku bukan wanita munafik yang menyembunyikan keadaan diriku sebenarnya kepada Ungu. Aku tahu, profesi istri kedua bukan sesuatu yang membuat wanita lain nyaman untuk bergaul denganku. Akupun merasakan dan sangat memahami hal itu. Tetapi Ungu sepertinya tidak memperdulikan hal itu. Kami bersahabat secara alami. Saling mengantarkan apa yang kami masak di rumah masing-masing, mencoba resep masakan bersama, shopping bersama dan lain lain kegiatan wanita pada umumnya.
Sebenarnya ada sesuatu yang lain pada diri Ungu yang membuatku penasaran. Kadang kadang untuk beberapa detik aku melihat cahaya sendu di wajahnya. Itu seringkali terjadi, walaupun aku tahu Ungu segera bisa menguasai diri dan kembali berekspresi normal. Ceria dan menyenangkan. Suatu hari aku mendapati Ungu tengah termenung di terasnya. Bahkan ada embun membayang di pelupuk matanya. Dia segera berusaha tersenyum ketika aku datang untuk mengantar kue yang aku buat sendiri. Aku tidak berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Aku pura pura tidak tahu, dan ternyata feelingku benar, Ungu tak bercerita apapun padaku. Itu berarti aku juga tak boleh terlalu ingin tahu. Aku takut dia marah. Padahal kedekatan kami selama ini walau baru dua bulan sudah seperti saudara. Entahlah. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan airmata Ungu yang aku lihat sore itu.
Sampai beberapa minggu aku sudah lupa dengan kejadian tersebut. Aku sendiri kalau sedang bersama suamiku, tak banyak waktu untuk Ungu. Maklumlah. Aji mumpung. Ketika suamiku sedang mengunjungiku, maka aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas hubungan emosional kami, termasuk hubungan fisikal. Dan kali itu kami memutuskan untuk berlibur ke puncak. Untuk melepas lelah dan refreshing untuk suamiku yang selama ini selalu sibuk dengan urusan pekerjaan.
Sore itu kami bersiap siap untuk menuju puncak. Aku ke rumah Ungu untuk pamit dan menitipkan rumah. Tetapi rumah Ungu kelihatan sepi. Sepertinya mereka sedang pergi. Aku memutuskan untuk menelpon tetapi tidak diangkat. Mungkin sedang sibuk. Akhirnya aku hanya mengirimkan sms untuk sekedar memberitahukan kemana aku aku pergi dan sampai kapan. Sebagai tetangga rasanya tak berlebihan aku berbuat demikian, karena selama ini kami selalu saling memberikan kabar kalau kami meninggalkan rumah masing masing untuk sekedar menitipkan rumah supaya lebih aware karena rumah dalam keadaan kosong.
Aku segera meluncur ke puncak bersama suamiku. Di sebuah restauran kami berhenti untuk makan malam. Restaurant yang kami kunjungi itu adalah restaurant favourite kami, sehingga kami selalu bisa mendapat tempat yang mempunyai view puncak yang awesomekarena kami selalu menelpon terlebih dulu untuk memesan tempat sebelum kami berkunjung ke sana. Setelah menikmati dinner romantis kami, kami bermaksud untuk menuju villa kami yang ada di puncak.
Tepat sebelum kami beranjak dari tempat duduk kami, aku melihat Ungu dan suaminya bersama seorang lelaki di meja yang berada di sudut ruangan. Aku tersenyum cerah bermaksud menyapa mereka, betapa berbahagianya aku bertemu mereka di Puncak tanpa direncanakan. Tapi aku segera mengurungkan niatku ketika melihat ekspresi Ungu. Wajahnya keras dan beku. Pipinya mengeras seolah sedang mengatupkan gigi gerahamnya. Wajahnya memancarkan pandangan yang sulit untuk kuartikan, apakah itu ekspresi marah atau sedih. Yang jelas aku melihat tak ada gurat bahagia di sana. Dan ow.. mungkin bukan saat yang tepat untuk menyapanya dalam keadaan yang seperti itu. Aku segera menggamit lengan suamiku untuk segera pergi dari tempat itu sebelum mereka mengetahui keberadaan kami di restauran itu.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, aku masih terbayang wajah Ungu yang dingin. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi suami dan teman lelakinya yang ceria bahkan kelihatan tertawa tawa bahagia. Belum selesai aku berpikir, tiba tiba aku melihat mereka bertiga juga berada di tempat parkir dan menuju mobil mereka yang berada di depan mobilku. Aku melihat Ungu berjalan masuk ke mobil di pintu belakang. Dan aku melihat suaminya membukakan pintu untuk si lelaki yang bersama mereka. Jantungku hampir copot ketika melihat tangan suaminya Ungu memegang pinggang lelaki itu dan mendorong untuk segera masuk ke mobil di posisi tempat duduk di depan.
“Papa…..,” desisku sambil memegang lengan suamiku. Shock melihat pemandangan itu.
Aku melirik suamiku yang duduk di belakang kemudi, dia juga melihat kejadian itu rupanya. Aku melihat tatap marah dan tegang di wajahnya. Sama dengan aku, rupanya suamiku juga terlihat geram dengan tingkah laku suami Ungu. Aku bukan wanita bodoh, aku banyak membaca sehingga aku banyak tahu. Aku dan tentu saja suamiku tahu arti sentuhan suami Ungu itu ke pinggang lelaki yang bersamanya. Kami tak banyak bicara, larut dengan pikiran masing masing. Shock karena suami tetangga dekat kami adalah seorang gay atau tepatnya bisa dikatakan biseks. Ungu dengan keluarga bahagianya ternyata menyimpan duka. Tiba-tiba aku teringat pelupuk mata Ungu yang mengembang airmata sore itu. Lebih sakit lagi melihat Ungu yang berada bersama mereka. Lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Menunduk dalam luka.
Ketika aku bertemu dengan Ungu setelah weekend berakhir, aku melihat tak ada lagi ekspresi yang aku lihat kemarin lusa di Puncak. Dia ceria seperti biasanya. Tetapi tetap seperti dulu aku melihat sekilas luka yang lengah dia sembunyikan dari pengamatanku. Tapi selama dia tidak terbuka padaku, aku juga tak akan menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi kepadanya. Aku menanyakan padanya kemana dia pergi, karena ketika aku mau berpamitan untuk ke puncak, rumahnya dalam keadaan kosong. Mendengar kata puncak, dia sedikit terkejut. Tapi segera dia bisa mengatasi keterkejutannya dengan menanyakan padaku bagaimana weekendku. Apakah menyenangkan atau tidak. Hm… sulit sekali memancingnya rupanya, pikirku.
Malam itu aku berada di rumahnya sampai hampir jam sembilan malam karena kami juga menonton film bersama. Ketika mau berpamitan pulang, aku berpapasan dengan suaminya yang baru pulang kerja di gerbang rumahnya. Dan.. laki laki itu lagi. Setelah berbasa-basi sebentar, akupun pamit untuk pulang. Karena penasaran aku memperhatikan rumah Ungu dari terasku. Aku ingin melihat lelaki itu lagi ketika pulang keluar dari rumah Ungu. Tetapi bukannya keluar tetapi malah si bibi menutup gerbang rumah dan mematikan lampu ruang tengah. Berarti lelaki itu menginap di rumah Ungu. Akhirnya aku memutuskan untuk segera tidur walau gelisah memikirkan keadaan Ungu, tetapi aku akhirnya terlelap juga.
Dorrr Dorr,… aku terkejut mendengar ledakan seperti suara ledakan senjata api. Aku melihat jam dinding, sepertinya aku baru tertidur selama setengah jam. Suara ledakan itu sepertinya dari rumah Ungu. Aku segera mengenakan piyama dan menuju pintu rumahku dan membuka serta menghambur ke rumah Ungu untuk melihat apa yang terjadi. Tepat ketika aku membuka gerbang rumahku sendiri aku melihat mobil suami Ungu bersama lelaki itu melesat keluar dari gerbang rumahnya.
Aku segera berlari  dalam rumah Ungu karena gerbang dan pintu rumahnya dalam keadaan terbuka. Sampai depan pintu aku segera masuk dan menyalakan lampu karena rumah dalam keadaan gelap. Aku melihat sesosok bersimbah darah di karpet ruang tamu. Dan yang membuat jantungku hampir berhenti adalah bahwa yang terbaring itu adalah tubuh suamiku. Aku menjerit.
“Papaaaaaaa,.. apa yang terjadi?”
Di ruang itu hanya ada Bibi yang menatapku, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya gemetar tanda shock. Aku belum melihat Ungu. Tak ada gunanya aku bertanya padanya apa yang terjadi. Segera aku menelpon rumah sakit untuk membawa tubuh suamiku yang bersimbah darah. Seribu dugaan berbaris di benakku. Semua berujung tanda tanya. Ungu, suaminya, lelaki itu, suamiku? Ya Tuhan.. apakah ini semua?
Untuk beberapa lama aku tak berjumpa dengan Ungu karena aku menunggui suamiku di Rumah Sakit. Aku heran kenapa Ungu tidak datang untuk sekedar menjenguk suamiku di Rumah sakit, atau paling tidak karena dia belum mengenal suamiku, dia datang untuk bersimpati untukku. Apalagi kejadian ini belum ada kejelasannya. Tetapi entahlah. Ketakutan terbesar yang menghantui pikirannku adalah tiga lelaki itu. Apakah mereka..? ya Tuhan. Jangan seperti dugaanku penjelasan dari semua ini. Aku akan bertanya pada suamiku setelah dia lewat dari masa kritis. Kata Dokter suamiku masih mempunyai harapan yang tinggi untuk bisa selamat dari peluru yang nyasar ke lambungnya sebelah kiri. Semoga.
Aku berpelukan dengan Ungu. Pelukan tanganku mencoba untuk melipat nyeri yang menusuk hati. Mungkin sama dengan yang dirasakan Ungu. Penjelasan dari semua ini adalah airmata kami. Dua perempuan yang terperangkap pada nasib yang tak bisa disanggah lagi. Aku, seorang istri kedua yang menyerah untuk menyakiti seorang perempuan istri pertama karena cinta. Kemudian Ungu yang mendapati suaminya berselingkuh di depan matanya. Salah siapa kalau kedua suami kami ternyata memperebutkan lelaki yang sama?
Lalu sebuah kenyataan tiba tiba tergelar di depan mata kami berdua. Apakah kami bisa menolak hadirnya sebuah takdir? Tidak. Tapi haruskah kami juga terhempas-hempas gelombang nasib bagaikan buih di lautan yang rela terombang ambing sepanjang hidupnya? Jawabannya juga tidak. Untuk itu kami akan mengemas airmata ini dan menjadikannya bekal untuk membasahi hati dan berteriak bahwa kenyataan sepahit apapun akan mampu kami tawarkan dengan airmata yang kami simpan. Sebuah lorong yang menuju kemana kami tak tahu. Tapi kami masih punya cahaya, airmata yang kami punya adalah cahaya. Sekaligus seteguk air penepis dahaga. Bahwa semua pasti indah pada waktunya. Aku melepaskan pelukan Ungu. Dan membiarkan polisi membawanya pergi. Ungu telah membunuh suamiku. Dia menembakkan pistol ke arah suamiku ketika suamiku mencekik suaminya. Suamiku yang tengah cemburu karena melihat suami Ungu bermesraan dengan lelaki itu.

16 Januari 2013

Malam


Kian lama semakin dalam tenggelam
Di sudut malam yang diam tak berperasaan
Ketika sebuah hati merepih sendiri
Dan semua kelezatan pergi
Kesunyian yang nyeri
Menapak luka luka
Sebagai tanda
Mungkin waktu tak lagi tersisa

Entah


Hanya karenamu puisi puisi ini tercipta
Entah
Apakah aku yang tolol dan buta
Atau hanya terlalu mendamba
Semoga “Anna uhibuki fillah” itu memang ada
Dan bukan lip service semata
Karena kau tahu kan, cinta itu kata kerja

30 Desember 2011

RESOLUSI AKHIR TAHUN SANG GURU

RESOLUSI AKHIR TAHUN 2011
 By Endang Setiyaningsih

 Waktu berjalan tanpa kita sadari. Detik dan menit berlalu, hari dan minggu seolah berlari, bulan berganti dengan hitungan yang tanpa kita sadari, Januari serasa mimpi karena menemu Desember terlalu dini. Tapi apa daya, waktu berjalan tanpa mempedulikan kita yang terengah mengejar asa. Adakah target dan tujuanmu sudah tercapai akhir tahun ini? Sementara tahun akan segera berganti. Apakah impian dan resolusi yang ingin kau gapai Desember tahun lalu sudah kau gapai akhir tahun ini? Jawabannya ada pada dirimu sendiri.

 Pada dasarnya tujuan bukanlah segalanya, tapi proses yang berkualitas adalah yang paling utama. Aku sendiri? Rasanya aku akan termasuk orang orang yang tak bersyukur apabila aku menyimpulkan bahwa aku tak meraih apa yang aku mau tahun ini. Untuk itu aku ingin mengucap syukur dan terimakasihku untuk Tuhanku yang selama ini mendampingi langkah langkahku, mengingatkan aku dengan berbagai teguran entah itu luka atau kecewa, mendewasakan aku dengan orang orang yang tak mendukung aku atau menatapku miring dan kurang setuju atas apa yang aku raih dan peroleh. Tuhan yang telah menyentilku dengan lembut karena aku mungkin telah membuat luka dan membuat orang lain tak berkenan dengan segala ucap dan sikap. Tuhan benar benar menyayangi dengan memberiku tangis atas amarah yang mengemuka ketika menemu angkara, Aku merasa Tuhan terlalu memperhatikanku sehingga memberiku berbagai macam dilema yang harus aku putuskan mana yang baik untukku dan untuk semua. Walau kadang aku sedikit ngeyel dan berontak atas alur yang disediakan olehNya, kadang aku tak menurut pada jalan setapak yang lurus itu, kadang aku belok ke arah manis yang kukira lezat akan kurasa, tetapi nyatanya hanya semu dan fatamorgana saja. Aku bandel, aku pemberontak, aku suka melawan, tapi Tuhan tetap setia menegurku dengan berbagai fakta menyakitkan atau menyenangkan, anugrah atau berkah. Maka aku sendiri yang harus menentukan, apakah aku patut berkata bahwa aku cukup meraih nilai positif tahun ini dari Tuhan yang maha sempurna dalam melakukan evaluasi kehidupan, atau aku hanya bertahan di angka enam saja tanpa perubahan? Ah, maka itulah mengapa aku mencoba untuk menuliskan sebuah catatan.

 Sedih rasanya melihat jejakku yang berdebu, Ya Tuhanku, hanya ampun yang kuharap darimu atas milyaran dosaku, menunda waktu untuk beribadah kepadamu, Mengambil hak hak muridku atas waktu waktu yang aku ambil untuk dinas luar, memberikan hasil evaluasi yang kadang bias oleh subyektivitas, lupa memberikan motivasi kepada mereka untuk lebih antusias menatap dunia sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas diri yang kaffah dalam kaitannya dengan hablum minallah dan hablum minnaa nass, mengucap kata kata yang memuat luka keluarga kecilku, sahabat dan saudara saudaraku. Aku tahu airmata tak berguna, hanya sebuah kontemplasi yang diikuti dengan langkah nyata yang mau dan bersedia untuk merubah apa- apa yang selama ini salah, dan menggantinya dengan seratus persen kesadaran dan keinginan penuh untuk hijrah ke yang lebih terarah. Hari hari yang kujalani seharusnya berjalan lebih bijak. 
Mengingat bahwa aku adalah seorang guru yang harus memberikan sikap yang mencerminkan keteladanan. Membuat berbagai inovasi pembelajaran sehingga lebih bisa meraih hati siswa untuk bisa duduk di setiap kelas yang ku pegang. Rasanya fakta bahwa aku seorang guru cukup menyenangkan, tetapi permasalahannya apakah aku sudah cukup melakukan self assesment sendiri atas kompetensi dan profesionalismeku. Tak guna sedikitpun apabila aku membuat berbagai perangkat mengajar hanya untuk memenuhi standar dari sepervisor atau assesorku. Kasihan muridku kalau aku hanya seperti itu. Sungguh, itu tak adil untuk mereka, seharusnya aku melakukannya untuk memneuhi hak para siswa untuk memperoleh sesuatu, yang benar benar sesuatu dalam tanda kutip, yang bisa dipertanggungjawabkan pada negara, dan pada yang maha segala, yaitu Dzat yang maha guru di atas sana. Menjadi seorang agen perubahan yang harus menyampaikan amanat bangsa pada generasi penerus bangsa adalah hal yang sangat membanggakan bagiku. 
Aku guru, aku tak malu menyebut profesiku ini kemanapun aku bersosialisasi. Aku senang menunjukkan sesuatu dan mendampingi anak anak didikku melihat sesuatu dari kacamata seorang pembelajar. Pembelajar yang berhasil adalah pembelajar tentang kehidupan. Maka selalu mengaitkan apa yang mereka pelajari di kelas dengan apa yang mereka hadapi di kehidupan. Mereka harus tahu bahwa apa yang mereka pelajari itu bukan maya, bukan langit, tapi nyata, tapi bumi. Dan kenyataan itu sering membuatku bertanya pada diriku sendiri, Apakah aku benar sudah amanah dalam mengemban amanat berat ini? Apakah proses yang aku lalui sekarang ini benar benar sudah mengantarkanku pada tugas sejatiku?
 Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Apakah langkah langkah kecilku sudah merupakan cerminan strategi untuk melaksanakan fungsi itu? Apakah proses pembelajaran yang aku lakukan selama ini sudah cukup representatif untuk membuktikan bahwa fungsiku memang untuk menjadikan anak anak didikku menjadi pribadi yang disebutkan dalam Undang Undang itu. Hmm, aku perlu refleksi rasanya. 

Hmm, sebentar aku merenungkan jejakku selama perjalanan tahun 2011 ini, Masih sama dengan tahun sebelumnya, aku mengajar kelas 9, semester satu aku mengajar dengan bahagia, karena aku masih mengajar seperti seharuanya. Aku punya beberapa SK dan KD yang harus aku sampaikan ke anak. Karena mata pelajaran yang aku pegang adalah bahasa Indonesia, maka kebanyakan aku mengajar skill pada mereka, aku mengajari mereka bagaimana harus menguasai KD dalam setiap materi yang aku berikan sesuai dengan ruang lingkup mata pelajaranku, yaitu :Mendengarkan, Berbicara, Membaca dan Menulis. Sepanjang semester satu aku masih selalu enjoy dengan mengajak siswa untuk mempelajari berbagai KD yang ada dalam standar isi dalam permendiknas. Beberapa KD aku anggap di luar dugaan hasilnya, tapi beberapa KD hasilnya masih standar, dan belum memuaskan aku. Desember ini adalah akhir semester satu, dan hmm terus terang aku sudah khawatir dengan proses yang akan aku lalui bersama anak anak didikku di sepanjang semester dua nanti. Persiapan untuk menghadapi UN benar benar membuatku tak berkutik, pembelajaran KD-KD yang ada dalam semester dua akan aku padatkan, dengan menggantinya dengan drill untuk mempersiapkan siswa menghadapi UN yang lebih. Aku tahu salah, tapi harus kulakukan karena kelulusan siswa masih ditentukan sebagian oleh Ujian Nasional. Rupanya rasio dan logika masih kalah sama politik. Kapan pendidikan di Indonesia akan maju kalau masih bercampur baur dengan politik? Jawabannya adalah kapan kapan. (smile) 
Tapi mengeluh bukan solusi yang baik, selalu mengkritik kebijakan tak banyak memberikan pengaruh. Yang perlu kita lakukan adalah membuat kita bermanfaat bagi orang lain, mengubah sesuatu harus dari diri sendiri baru kemudian baru mengubah sesuatu yang dekat dengan dirimu sendiri, yang terjangkau olehmu, dan bukan membayangkan akan mengubah negara dan bangsa ini, berkaitan dengan hal ini ada satu puisi indah yang aku sangat sukai maknanya, sebenarnya puisi ini adalah sebuah catatan yang terukir di pemakaman Westminster Abbay, Inggris, Tahun 1100M.

Willingness to change (Kesedian untuk berubah)

 Ketika Aku masih muda dan bebas berkhayal
 Aku bermimpi ingin merubah dunia 
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku
 Kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah 
Maka cita cita itupun kupersempit Lalu kuputuskan untuk.. hanya mengubah negeriku 
Namun nampaknya, Hasrat itupun tiada hasil 
Ketika Usia semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa 
Kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang orang yang paling dekat denganku 
Tetapi celakanya merekapun tak mau berubah
 Dan kini, sementara aku terbaring saat ajal menjelang 
Tiba tiba kusadari Andaikan yang pertama yang kuubah adalah diriku 
Maka dengan menjadikan diriku teladan 
Mungkin aku bisa mengubah keluargaku
 Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka
 Bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku 
Kemudian siapa tahu Perubahan negeriku akam membuat dunia ini berubah

 Kesediaan untuk berubah itu yang paling utama. Mengeluh, protes, demo adalah bagian dari demokrasi, tetapi apakah dengan itu masalah akan teratasi? Kalau kita hanya selalu fokus dalam verbalisme saja, kapan kita akan berbuat sesuatu untuk anak anak didik kita? Biarkan pemangku kepentingan dan pemegang kebijakan menjalankan tugasnya dengan tenang, lalu kita fokus dengan apa yang kita lakukan. Fokus dengan action kita di kelas, action yang diskenariokan sedemikian rupa, dipikirkan dengan matang karakter apa yang akan kita masukkan dalam pembelajaran, bukan hanya action improvisasi saja merasa sudah sempurna menguasai materi belajar. Aku, rasanya harus melepaskan diriku dari rasa sombong itu, bahwa aku sudah bertahun tahun mengajar, maka tampil di kelas bukan sesuatu yang perlu dipersiapkan. Hello Bu guru,.. its not as simple as that. Berdiri di depan kelas, tak pernahkah kau bayangkan efeknya akan bertahun tahun ke depan. Kata, contoh, visualisasi, yang kau bawa ke dalam kelas akan mempengaruhi pikiran berpuluh puluh siswa bahkan beratus-ratus siswa.
 Pernahkah kau bayangkan, sekalimat dua kalimat motivasi yang kau berikan pada anak didikmu akan membawanya ke kursi DPR? Tak pernahkah kau bayangkan inspirasi yang kau munculkan di kelas akan bertahun-tahun bertahan di benak siswa sampai akhirnya giliran dia dalam menentukan nasib bangsa, Pernahkah terbayangkan olehmu seorang anak akhirnya menjadi seorang bupati karena secuil kisah yang kau berikan di kelasmu, bertahun tahun sebelumnya, sehingga membuatnya memperoleh motivasi dan inspirasi.
 Oh my God, Dapatkah kau bayangkan seandainya setiap kata, (catat : SETIAP KATA) yang kau ucapkan di kelas adalah sesuatu yang sudah kau kemas sedemikian rupa sehingga bermakna untuk mereka. Rasanya ketika hal itu dilakukan oleh semua guru secara bersama sama, maka mengurangi korupsi, bukan sesuatu hal yang mustahil. Sedang batu karang saja akan terkikis oleh ombak lautan karena konsistensinya. Banyak sekali yang bisa kita lakukan, ah.. rasanya aku kurang pantas mengatakan kita, karena resolusi ini pada dasarnya adalah resolusiku sendiri. Tapi aku berkhayalkah apabila aku ingin semua guru yang ada di Indonesia ini semakin profesional dari hari ke hari. Tunjangan sertifikasi yang diberikan oleh pemerintah adalah amanah. Rasanya perlu kita hargai dengan ketulusan kita untuk membuka mata siswa, mengajak mereka memahami dunia, mendampingi mereka ketika menemu kerikil dalam tugas perkembangan psikologi remaja yang harus mereka lalui, lalu siapa lagi kalau bukan kita? Singkatnya, Resolusiku untuk tahun depan adalah: 

  1. Be profesional, puaskan dirimu sendiri, buat kelasmu dirindukan oleh mereka 
  2. Do something and stop complaining
  3. Jangan pernah berhenti belajar, karena kalau kau mengajar hari ini sama dengan mengajar yang kau lakukan dua tahun yang lalu, maka itu berarti kau telah merebut masa depan anak anakmu. 
  4. Jangan pernah lelah memberi motivasi untuk siswa, ingat bahwa seorang yang mempunyai kesempatan pada generasi muda adalah kamu, then do the best as you can.


 Baik pembaca, itu resolusi saya, bagaimana dengan anda? Terimakasih berkenan mampir ke blog saya.

21 Maret 2011

DON’T CRY, LOVE



Kesini Kekasih
Biar kuhapus airmatamu dengan mimpi
Biar lepas semua penjara asa yang selama ini menghalangi
Lalu kita tangkap merpati putih itu
Yang selama ini ragu untuk mengikat janji
Tapi aku tak ingin memenjara mereka di sangkar yang kita punya
Biarlah mereka lepas..
Memadu kasih di awan
Bercengkerama bersama rembulan
Merajut asa di kerlip bintang
Bukankah itu yang kita punya?

Tak usah hirau mendung kelabu
Bahkan gerimis tak sanggup membasahi kepak sayap putih itu
Biarkan mereka berkelana mengganti detik yang pernah terlupa
Mengisinya dengan kenangan yang belum kita cipta

Kesini Kekasih,
Biar kuhapus airmatamu...

20 Maret 2011

JOURNEY TO THE SKY


Ketika langit adalah segalanya
Ketika Bulan memanah hatimu dengan purnama
Ketika bintang memesonamu dengan dingin yang menusuk sukma
Deru angin melabuhkan mimpimu di pelataran hatiku
Aku menggigil memaknai rasa
Sakit yang begitu menusuk?
Atau syahdu yang begitu meremuk?
Sekian tahun terpenjara dalam tanya......

Dan malam kian purba
Bulan masih setia menemui purnama
Seribu nyanyian jangkrik melewati mimpi dini hari
Orkestra katak silih berganti memintal irama mimpi
Embun melukis resahnya karena harus bertemu mentari
Deru angin itu mengantarkanmu kembali membawa gelora yang pernah menjadi saksi
Mengapa perlu waktu sekian lama untuk memaknai
Bahwa rindu itu memang tak pernah berhenti

Kau yang memenjara asa,
Tahukah kau mengapa tatapku bercahaya?
Sinar purnama memendarkan danau yang menggenang di dalamnya......
Merebut mimpi, mendekap nurani, merasuk diri
Hingga malam ini, aku tak mampu lagi sembunyi...


02 Oktober 2010

MAAFKAN AKU IBU...

Aku gadis belia. Usiaku baru 16 tahun. Tapi cerita hidupku yang akan aku ceritakan ini, mungkin akan membuat anda tercengang. Aku sudah menikah. Anda pasti terkejut? Gadis seusiaku seharusnya masih suka bersenang-senang bersama teman-teman sekolah. Ah.. aku ceritakan ini supaya kamu tidak mengalami kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku ingin berbagi kisah hidupku karena aku tak mau kawan kawan sebayaku melakukan perbuatan tolol seperti yang pernah aku lakukan.
Semua berawal sebuah HP yang diberikan oleh orangtuaku kepadaku. Aku keranjingan mengirim SMS. Aku senang sekali pada telpon telpon salah sambung yang sering berlanjut menjadi pertemanan dalam SMS. Aku main SMS dimanapun aku berada. Di rumah, di Sekolah, di kelas ketika guru sedang mengajar, di angkot ketika pulang pergi sekolah, dimana saja. Prestasi belajarku menurun. Padahal sebelumnya aku selalu berada di posisi sepuluh besar di kelas. Aku mulai berteman dengan teman teman gaul yang sering mengajakku untuk mencoba coba sesuatu yang baru, seperti merokok, minum minuman beralkohol bahkan merokok ganja. Semua itu kulakukan karena ingin coba –coba dan mengikuti teman temanku.
Reputasiku di sekolah sudah mulai buram. Kelas satu yang penuh nilai bagus, aku tinggalkan dalam kenangan. Happy yang manis dan pinter sudah berubah dengan Happy yang sering dipanggil guru BK. Tertangkap sedang merokok di belakang kelas, sedang jajan di jam pelajaran, Bolos dan sebagainya. Aku melakukan semuanya begitu saja. Aku senang bergaul seperti itu. Aku mencari sesuatu yang selama ini belum pernah aku rasakan. Sesuatu yang baru selalu menarik perhatianku. Termasuk cowok. Ya, aku pun mulai mengenal istilah pacaran.
Pacar pertamaku adalah teman sekolahku, namanya Saddy. Dia sudah berusia 3 tahun di atasku. Mungkin dulu dia sempat tidak naik kelas. Saddy memperkenalkan aku pada dunia baru lebih indah lagi di masa remajaku. Cinta. Ya, cinta itu ternyata indah dan nikmat rasanya. Pokoknya berjuta rasanya. Hal ini juga yang membuatku dipanggil guru BK untuk yang kesekian kalinya. Aku ketahuan berciuman di belakang kelas. Jadi pemanggilan demi pemanggilan, nasihat demi nasihat hanya berlau bersama angin. Terbang bersama debu jalanan yang menyesakkan dada. Apalagi guru yang memanggilku itu hanya mengerutu dan mengomel saja atas tingkah burukku. Bukan itu yang aku butuhkan. Apapun yang kau katakan selama kau menganggapku siswa penuh masalah yang hanya memenuhi buku kasus saja, maka selama itu pula aku tak akan mendengar nasehatmu. Aku juga manusia Pak, Aku berpikir, aku butuh dihargai. Aku bukan sampah yang kau ancam ancam akan kau keluarkan dari sekolah jika aku tak segera memperbaiki kelakuanku.
Kelas dua berlalu dalam diam, aku naik kelas dengan nilai pas-pasan. Bukannya insyaf, tapi aku malah semakin banyak ulah. Aku berteman dengan biangmya keributan di sekolah. Dari dia juga aku mendapatkan lintingan ganja. Sampailah pada puncak permasalahan. Aku hampir di depak dari sekolah tiga bulan menjelang Ujian. Tapi Tuhan masih memanjakanku dengan berbagai kenikmatan. Aku berhasil bertahan, sekolah memberi kebijakan dan memberikan aku kesempatan kedua.
Aku sama sekali tak konsen belajar. Aku semakin sering main ke tampat pacarku yang ketiga. Aku sebetulnya menyadari bahwa aku segera akan menghadapi Ujian Nasional, tetapi aku tak ambil pusing. Aku sering diajak main ke rumah cowokku. Keadaan di rumhnya selalu sepi sehingga kami leluasa untuk bermesraan. Sampai pada suatu ketika aku lepas kontrol. Aku kehilangan keperawananku di sebuah siang hari yang sepi. Aku tak menyadari kenapa semua bisa terjadi. Aku terpukul. Aku masih punya masa depan yang panjang. Tapi.... kenapa aku bisa dengan tololnya menyerahkan kehormatanku untuk orang yang bukan suamiku.
Aku goyah. Aku merasa tak berharga lagi. Dunia yang sebelumnya buram dalam pandanganku semakin tampak kelabu di mataku. Dunia seolah berhenti berputar, dan aku termangu dalam tubuh dan jiwa yang kotor. Aku adalah gadis ternoda yang tak punya masa depan lagi, sehingga satu satunya yang harus aku lakukan adalah menjaga hubunganku dengan pacarku supaya dia tidak meninggalkan aku karena aku telah diperawaninya. Aku harus minta tanggungjawabnya. Aku terus terganggu dengan kesalahan yang sudah aku lakukan. Hanya dia yang mau denganku. Hanya dia. Laki laki lain akan memandangku hina. Hidupku sudah berhenti semenjak itu. Tak ada lagi bayangan seragam abu-abu berkelebat di benakku. Aku mau menikah saja. Itu jalan terbaik.
Aku semakin malas belajar sementara ujian di depan mata. Aku masih tak berhenti merutuk pada diri sendiri kenapa aku bisa melakukannya perbuatan terkutuk itu. Bagaimana seandainya pacarku itu tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya. Bagaimana aku menghadapi kehidupan ini. Sedangkan aku sudah kotor, dan tak suci lagi.
Pada suatu hari, karena semakin kalut dengan pikiran yang ada di kepalaku. Aku tak mau pulang dari rumah pacarku. Selama tiga hari aku menginap di rumah pacarku. Aku tahu ibuku datang ke rumah pacarku untuk mencariku, tetapi pacarku dan aku berkeras untuk tak memberitahukan kepadanya. Akhirnya apa yang aku harapkan terjadi. Keluarga pacarku akan menikahkan kami berdua. Aku tak bahagia mendengarnya. Aku cuma senang saja. Setidaknya aku merasa aman dengan ketidakperawananku yang setengah mati aku sesali.
Sudah seperti dugaanku. Orangtuaku tidak menerima lamaran keluarga suamiku. Kata mereka ibuku marah sekali. Hatiku seperti teriris ketika melihat amanat ibuku. Aku bisa merasakan sakit hatinya. Aku anak gadis pertamanya, meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini, maka wajar bila ibuku memberi amanat Tante Miranda, wakil dari ibuku yang menghadiri pernikahanku. Tante Miranda menampar wajah suamiku di depan semua tamu. Aku tidak sakit hati. Aku hanya menitikkan airmata mata, mendengar bahwa tamparan itu adalah amanat dari ibuku. Duh Ibu, Happy terima semua ini. Happy memang tak pantas hidup bersama Ibu lagi. Happy kotor, maka biarkan Happy menebus semua kesalahan Happy bersama suami Happy.
Pernikahan itu ternyata bukan solusi. Aku tinggal bersama keluarga suami. Aku tidak mendapat tempat juga di hati mereka. Aku diperlakukan tak ubahnya seperti pembantu rumah tangga. Aku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, dari mencuci, masak, bersih-bersih sampai menggosok. Pada awalnya aku bertahan, tetapi lama lama aku tak kuasa menahan beban. Tubuhku semakin kurus karena kurang makan. Keluarga suamiku bukan keluarga yang kecukupan, semua makanan yang aku masak seringkali habis sebelum aku sempat menikmatinya. Badanku semakin lemah. Tetapi tak satupun yang bisa aku lakukan.
Mengapa seluruh hidupku menjadi begini nista. Ibu, aku rindu, Ayah aku rindu padamu. Setiap kali mengingat mereka, hanya airmata yang menetes di pipi. Aku didera perasaan bersalah yang amat sangat. Aku seringkali menatap keluargaku dari ujung jalan. Aku melihat mereka sehat saja sudah cukup membuatku nyaman. Aku ingin sekali memeluk mereka. Tapi aku tak bisa. Aku ingin pulang Ibu... Tapi aku takut kalian tak menerimaku. Puteri kalian yang telah mempermalukan kalian begitu rupa.
Hari berganti, minggu berjalan dan bulan pun berlari. Aku semakin tertekan dengan semua keadaan. Aku semakin lemah. Aku tahu aku sakit, tetapi waktu aku minta suamiku untuk mengantarku pergi berobat, suamiku hanya mengantarku ke bidan. Tak ada pengecekan ini dan itu yang biasa dilakukan di kedokteran. Aku tahun aku sakit, tapi aku tak berdaya. Hingga suatu saat suamiku mengajakku untuk menjalankan kewajiban aku tak sanggup, bukan kasihan yang kudapatkan tapi tamparan dan makian. Ya Tuhan... apakah ini cobaan, apakah ini ganjaran atas zina yang telah aku lakukan?. Aku sudah tak bisa melihat harapan, bahkan aku sudah kehilangan orientasi. Bahkan sudah tak sanggup merasakan sakit hati ketika suamiku menyuruh aku pergi. Dia bilang sudah menceraikan aku. Aku sudah tak sanggup menangis. Bahkan aku tertawa melihat nasib dan hidup mempermainkan si pendosa ini. Sampai pada suatu hari suamiku mengatakan akan mengantarkan aku pulang. Mungkin dia tak mau mengurusku dan hanya menganggap aku menjadi beban.
Aku melangkah pelan di halaman depan rumahku. Aku kembali padamu Ibu, Bapak....Seaat aku tak sanggup berkata-kata dadaku sesak karena airmata dan pelukan. Teriakan ibuku melihat keadaanku membuatku semakin pucat dan kehilangan kesadaran..Maafkan Happy Bu, Maafkan Happy, kataku lemah. Aku tak sanggup melihat ekspresi wajahmu Ibu. Aku berdosa Bapak.. Aku tak pantas untuk berada di antara kalian...
Bapak dan Ibuku menerimaku. Bahkan mereka menyayangiku luar biasa. Mereka menciumku, memelukku, mereka memberiku makanan yang selama ini kurang aku terima dengan layak. Aku dibawa ke dokter, tetapi setelah obat habispun kondisiku tak mengalami perubahan. Aku merasakan kasih sayang Bapak Ibuku sungguh luar biasa. Aku sungguh tak menyangka mereka akan menerimaku kembali menjadi anak mereka. Aku sudah terlalu banyak membuat dosa. Dalam hati aku berjanji, kalau memang diberi kesempatan aku akan membuat mereka selalu tersenyum. Tak pernah bermuram karena tingkah yang aku lakukan. Mereka bilang, mereka akan menyekolahkan aku lagi. Aku merasa berada di dunia lagi. Karena kemarin.. aku merasa sudah mati. Aku merasa punya masa depan lagi.
Ibu,... engkau sungguh wanita yang benar-benar berhati mulia. Kau maafkan aku yang telah begitu banyak membuat malu dirimu. Dalam kelemahanku, ada senyumku bahagia. Pelukan dan belaian Bapakku membuat nafasku menjadi sedikit lebih nyaman dari sebelumnya. Setidaknya aku bisa merasakan kasih mereka dalam sakitku. Wajah marah mereka ketika aku berlaku menjadi puteri durhaka, masih kuingat dengan sangat jelas. Wajah yang mencerminkan sakit hati yang tiada tara itu sekarang tak ada lagi. Mereka mencintaiku. Masih mencintaiku. Aku mulai melihat cahaya. Indah.
Beberapa hari aku bersama mereka, keaadaanku semakin lemah. Tapi aku merasa aku seolah sudah sembuh. Aku ceria, aku akan sekolah lagi. Aku... tersenyum aku membayangkan keindahan yang kurasakan apabila aku sembuh nanti.......Aku merasa melayang karena bahagia, tubuhku ringan...Sampai akhirnya aku terbangun dari lelapku. Tetapi aku tak tahu dimana keberadaanku. Semuanya berwarna putih, bersih... Aku melihat Bapak dan ibuku sedang berada di samping tempat tidurku, menatapku dengan senyuman yang dipaksakan. Ternyata aku sedang berada di Rumah Sakit.
Aku menatap mereka tanpa bisa bicara. Aku membuka mulutku untuk menyapa ,mereka tapi kelu. Aku mau minta maaf Bapak, Ibu, aku belum sempat mengucapkannya.
Aku mencoba bicara, Ya Tuhaan. Aku tak sanggup lagi memgeluarkan kata kata. Kenapa mulutku kelu dan sulit untuk kugerakkan. Aku belum sempat mengucapkan permohonan maafku pada orangtuaku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menggerakkan bibirku tetapi seluruh usahaku sia-sia. Akhirnya aku hanya bisa meneteskan airmata. Airmata itu mengalir dari ujung kedua mataku. Kulihat orangtuaku terkejut melihatku menangis tanpa suara. Untuk pertama kali aku melihat, Bapak dan ibuku beruurai airmata juga, mulut mereka bergerak gerak, tapi aku tak sanggup mendengar apa yang mereka ucapkan. Mereka mengenggam tanganku, aku terus menitikkan airmata. Ibu membawa tanganku ke dadanya, mencium telapak tanganku. Dalam uraian airmatanya dia mengukir sebuah senyum, Oh ibu... mungkin ibu berusaha menyampaikan bahwa dia menyayangiku. Dia berusaha tersenyum dalam sedihnya, mungkin itu tanda bahwa dia memaafkanku. Setidaknya itu yang bisa aku terjemahkan. Aku sudah tak bisa mendengar, aku sudah tak bisa berkata kata, tetapi mataku masih bisa menatap kabur terhalang airmataku yang terus jatuh tanda penyesalanku. Maafkan aku ibu...
Aku tak bisa bergerak lagi. Aku tuli. Aku buta. Tapi aku melihat mereka. Semua menangis. Mengelilingi aku. Ibuku menjerit jerit. Happy, Ibu memaafkanmu Nak... Ibu memaafkanmu. Semakin Ibuku meratap memanggil manggil namaku. Aku diam. Aku beku. Aku mendengar suara suara dzikir dan Surat Yaasin di baca di sekitarku.

21 Januari 2010

ARISAN

"Aku bosan punya suami dia", kata bu eti.
"Kerjanya makan dan tidur melulu".

Aku bosan punya suami dia, " kata bu riske.
"Kerjaaaaa terus gak berhenti".

"Aku bosan ga punya suami, suami ibu buat saya aja deh, kata bu Meyla.

Bu Riske, Bu Eti terdiam.

RAPUH

Begitu sulit merabamu
Apalagi dalam gelap rahasia bumi
Dini hari tak jua usai kudapati
jawaban dari segala tanya yg semakin mengabadi.

Detak waktu tiba tiba menyakitiku
Menggema di rongga jiwaku yg sempit
Sesak oleh rindu kau yang lalu

Kutak ingin embun berubah menjadi danau
Kutak ingin embun itu tumpah menjadi air bah

Aku merapuh
patah di jarum waktu
Aku meradang
Mengoyak keterbatasan
Ternyata begitu sulit
Mengharmonikan perbedaan

KIDUNG MALAM

Senja merayap rindu sunyi
ketika burung pulang sarang
gelap garang menjanjikan keajaiban
maka sini anakku
Kupejamkan matamu dengan kidung purba

Temui dia di lelapmu
mimpi itu akan membawa jalanmu menuju pelangi